Rabu, 04 Mei 2011

SINOPSIS BUKU “SBY ANTEK YAHUDI-AS?”



Doktor IPB ini pernah dijuluki “Si Raja Demo” oleh koran Pos Kota saat hiruk pikuk politik tahun 1998 di Jakarta. Sikap galaknya tak cukup diekspresikan di ruang pengadilan, tapi sampai mimbar jalanan di berbagai aksi unjuk rasa. Dr. Eggi Sudjana, SH, M.Si, pengacara yang demonstran ini, kerap merilis ide-ide tajam menyerang pemerintah yang semakin anti rakyat dan pro kapitalis. Buku “SBY: ANTEK YAHUDI-AS?, Suatu Kondisional Menuju Revolusi” membongkar operasi jahat yang dimotori agen-­agen kapitalis imperialis sejak meletus pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1950-an hingga hari ini di bawah rezim KIB jilid 2 SBY-Boediono.
Dari perspektif lain, Eggi menyingkap peran para bankir internasional dari AS dan Jerman untuk mensponsori Revolusi Bolshevik 1917 lewat 'mafia Bilderberg', sekaligus mempertahankan politik Perang Dingin agar kaum kaya bisa melancarkan intervensi universal guna mendirikan Pemerintahan Satu Dunia (One World Government). Melalui tangan Carnegie, Ford, dan Rockefeller para dedengkot mafia global dapat mengangkat dan menjatuhkan seorang Presiden, tidak saja di AS tapi juga negara manapun. Singkatnya, mereka dapat mengendalikan hubungan antar negara dan politik internasional karena memiliki satu pasukan keamanan dunia (NATO), satu kekuatan ekonomi (IMF dan Bank Dunia), serta menggunakan WHO organ sayap badan PBB.
Naiknya Soeharto setelah menjatuhkan Soekarno (1967) memberi kesempatan tim ekonom liberal alumni Barkeley (Dr. Widjoyo Nitisastro dkk) bekerja menjarah NKRI. Para diplomat Soeharto yang diduga dekat CIA seperti Adam Malik dan Ali Moertopo, juga didorong memfasilitasi terbentuknya ASEAN pada 8 Agustus 1967. Selain itu, angkatan perang RI yang dibangun oleh Soekarno bersama para jenderalnya, Ali Nasution dan Ahmad Yani, yang memiliki alutsista militer warisan blok Uni Soviet, dilucuti kekuatannya dan digunakan Soeharto merampok "bumi, air, udara, dan kekayaan alam" Indonesia.
Eggi Sudjana serius membongkar neoliberalisme yang di cangkok sejak era Soeharto dan semakin tumbuh subur di bawah pemerintahan Susilo "SBY" Bambang Yudhoyono. Saat membukukan pikirannya, Bang Eggi, yang juga mantan Presiden, —Presiden PPIVII (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia), itu menggunakan bahan referensi luas, antara lain 34 buku, 2 jurnal, 12 majalah. 20 surat kabar, 5 makalah. dan 11 website, serta ditambah 2 lampiran yang salah satunya sepucuk surat tangan Presiden SBY kepada Bapak H. Sukama, tak lain ayahanda Eggi sendiri.
Buku "SBY Antek Yahudi-AS", memuat 3 bagian, dan seperti biasa kebanyakan buku, jurus pamungkasnya terletak di bagian akhir, bagian III yang dijuduli "Keharusan Revolusi" Sedari awal ditulisnya, banyak topik sejarah yang 'digelapkan' disorot. Mulai Peristiwa Madiun 1948 sampai G 30 September 1965, dari konspirasi tentara sekutu (AS dan Inggris) dengan TNI AD yang diistilahkan CIA sebagai 'local army friend' saat penggulingan Soekarno dan pembasmian orang-orang PKI.
Di tengah huru hara saat itu, tahun 1967 terbentuklah IGGI sebagai sekumpulan negara donor untuk membantu pembangunan ekonomi Indonesia. Selanjutnya, korporasi-korporasi asing diberi konsesi menjarah kekayaan alam, misalnya eksplorasi tambang migas Exxonmobil, Chevron, Conoco Philips dan tambang logam mulia Freeport McMoran dan Newmont. Selain penemuan cadangan emas terbesar dunia di Papua berkisar 2,2-2,5 miliar ton, Freeport diam-diam mengeduk uranium sebagai bahan dasar senjata nuklir.
Padahal dulu tahun 1951, Soekarno membekukan konsesi bisnis MNC/TNC seperti Stanvac, Caltex dan Shell lewat program nasionalisasi energi. Sebaliknya, oleh Soeharto sampai SBY, kemandirian dan kedaulatan diserahkan kepada pasar bebas. melalui privatisasi BUMN dan beragam produk perundang-undangan (UU PM, UU Migas, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Air, dll). Dibanding Presiden RI yang lalu-lalu, SBY memang dikenal good boy bagi kepentingan AS. Halaman pertama buku Eggi, mengutip ucapan SBY, "I love the United State, with all its faults. I consider it my second country" (Saya mencintai Amerika dengan segala kesalahannya. Saya anggap Amerika adalah negeri kedua saya).
Betapa geramnya kita menjalani era reformasi tetapi malah justru borok korupsi tersingkap luas dan vulgar. Kasus bailout Bank Century senilai Rp. 6,7 triliun dan menarik Boediono menjadi Wapres serta menempatkan Sri Mulyani kerja di Bank Dunia sebagai TKW Indonesia termahal dalam sejarah Indonesia, sungguh sinetron politik yang menyuguhi adegan tak lucu, mulai dari hasil audit investigasi BPK, Pansus Century di DPR, sampai pemyataan KPK tidak adanya indikasi korupsi. Korupsi birokrasi sudah parah. Gayus Tambunan saja bisa keluar masuk sel sampai 68 kali dengan pelbagai motif, termasuk sodok menyodok untuk pilpres 2014 saat ia pergi ke Bali nonton tenis ketemu Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar yang Group bisnisnya kesandung wajib pajak bermasalah.
Tak cukup itu, demi melayani tuan-tuannya dari dunia Barat, Presiders RI SBY menggenapinya dengan UU Anti Terorisme untuk memberangus Islam, suatu periode lanjutan gaya adu domba politik Soeharto. Berdalih memerangi terorisme global, SBY turut memamah-biak proyek Echelon, teknologi alat penyadap warga garapan Gedung Putih-nya George W. Bush dalam mengobarkan war on terrorism, khususnya usai peristiwa W7C "911". Membangun sating curiga umat Islam, pemerintah dan TNI-Polri.
Bukan Amerika namanya kalau tidak turut campur urusan dalam negera geopolitik global. Di bidang kesehatan, medico-imperialism lewat operasi intelijen NAMRU-2 di mana sampel virus orang Indonesia dikirim ke perusahaan farmasi AS agar dibuat vaksin yang kemudian dijual-belikan melalui WHO. Operasi jahat AS ini dibongkar mantas Menkes Siti Fadilah Supari. Namun, jika kedok satu kebongkar, kedok lain pun harus dibikin. Kali ini intervensi lewat industri rokok nasional, di mana Philip Moris mengakuisisi Sampoerna senilai Rp. 18 triliun. Pemerintah AS tak perlu turun langsung, cukup melobi industri rokok maka negeri ini sudah tekuk lutut.
Negeri yang semakin diperhamba asing ini, kata Eggi Sudjana, tak ada jalan lain kecuali harus REVOLUSI!! Sebuah kata kunci yang ia tuliskan sejak kata pengantar sampai bagian kalimat terakhir pada bukunya. Jika perlu, ambillah teladan dari sosok pemimpin di Amerika Latin, seperti Hugo Chavez dan Evo Morales, yang berketetapan hati meneguhkan sikap revolusioner mengajak bangsanya mandiri dan sejahtera. Sekali lagi, dari buku ini, Eggi menyeru: Revolusi Belum Selesai!